Kamis, 17 Mei 2012

Fiqh Munakahat (Persiaapan pernikahan)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Sebagai seorang Muslim dan Muslimah, kita semua tentu mengharapkan pada saatnya nanti akan bertemu dengan pendamping yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita. Harapannya adalah, dapat membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.
            Allah telah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, tetumbuhan, pepohonan, hewan, semua Allah ciptkan dalam sunnah keseimbangan dan keserasian. Begitu pun dengan manusia, pada diri manusia berjenis laki-laki terdapat sifat kejantanan atau ketegaran dan pada manusia yang berjenis kelamin perempuan terkandung sifat kelembutan dan pengasih. Sudah menjadi Sunnahtullah bahwa antara kedua sifat tersebut terdapat unsure tarik menarik dan kebutuhan untuk saling melengkapi.
            Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut mejadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi maka Islam telah dating denag membawa ajaran pernikahan Islam menjadikan lembaga pernikahan sebagai sarana untuk memedu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Dengan jalan pernikahan itu pula akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah suatu hal yang wajar jika pernikahan dikataklan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
            Bahkan Rasullah dalam sebuah hadits secara tugas memberikan ultimatum kepada ummatnya : “Barang siapa telah mempunyai kemampuan menikah, kemudian ia tidak menikah maka ia bukan termasuk ummatku” (H.R Thabrani dan Baihaqi).
            Makalah yang singkat ini akan sedikit memaparkan apa-apa saja yang dapat menjadi bekal untuk para musliah pada khususnya, juga seluruh muslimin dan muslimat dimana pun berada pada umumnya, mengenai berbagai hal yang harus dipersiaapkan menjelang pernikahan.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pemahaman dalam memilih atau menyeleksi calon pendamping nanti??
2.      Apa sajakah langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memilih calon pendamping nantinya??
3.      Bagaimanakah persiapan Spiritual, Moral serta Konsepsional tentang pernikahan??
4.      Bagaimanakah persiapan materiil untuk para calon suami??
5.      Apa sajakah tujuan dan hikmah dalam melakukan sebuah pernikahan??


C. Tujuan Penulisan Makalah

            Penulisan makalah ini bertujuan agar para kawan-kawan rekan seperjuangan mengetahui bagaimana cara-cara memilih pasangan yang terbaik dan mengetahui apa-apa saja persiapan yang di lakukan sebelum melakukan sebuah pernikahan.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pemahaman Memilih dan Memyeleksi Calon Pendamping

            Pernikahan bukanklah sekedar membentuk hubungan antara dua lawan jenis, akan tetapi pernikahan merupakan perencanaan. Agar suatu rencana dapat berjalan sukses, maka harus disertai dengan pikirah jernih dan pengaturan yang bagus. Kesalahan yang paling besar yang dilakukan oleh laki-laki yang takjub akan kecantikan wajah wanita, kemidian langsung menikahinya. Sedangkan kesalahan paling besar adalah yang dilakukan wanita adalah terpesona dengan kata-kata manis lelaki, sehingga dia menyetuju untuk dinikahinya.
            Karena itulah, untuk mendapatkan pilihan yang tepat harus menggunakan berbagai criteria. Antara lain, criteria yang sesuai dengan hati, telinga, mata, akal pikiran. Tentu saja dalam kondisi apapum semua criteria itu tetap tidak meninggalkan standar agama dan akhlak. Rasullah bersabda :



Apabila ada seorang pelamar yang kalian ridha’i dengan agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah.”
            Berikut, ada beberapa criteria untuk menyeleksi calon yang akan menjadi pendanping hidup anda untuk para muslimah:
·         Utamakan laki-laki yang memiliki pemahaman agama yang baik
·        Bagaimana ibadah wajib laki-laki yang dilakukannya
·        Sejauh mana konsistensi dan semangatnya dalam menjalankan Syariat Islam
·        Bagaimana lingkungan, keluarganya dan teman-temannya.
Seorang laki-laki yang sholih akan membawa kehidupan seorang wanita menjadi lebih baik, baik di dunia maupun kelek di akhirat.
            Dari semua criteria yang ada, standar pemilihan yang paling tinggi dan merupakan dasar mencapai pernikahan yang sukses dan penuh kebahagiaan adalah bersumber dari hati yang bersih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah “Allah tidak melihat pada tubuh kalian, kedudukan atau harta kalian, akan tetapi Dia melihat pada hati kalian. Barang siapa yang mempunyai hati yang bersih, Allah akan merindukannya, bahkan kalian juga wahai anak  adam. Sedangkan orang yang paling aku cintai diantara kalian adalah orang yang paling bertakwa.”[1]
            Apabila seorang laki-laki atau gadis menemukan criteria-kriteria yang diidam-idamkannya pada calon pasangannya menjadi kenyataan, maka dia sungguh beruntung karena dia akan dapat membangun kehidupan rumah tangganya dengan sebaik-baiknya.[2]
           


PERSIAPAN PERNIKAHAN



DI SUSUN


      O
L
E
H

Anna Maysuri  (130908379)
Via Nurjannah (130908375)







JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN AR-RANIRY
LAMGUGOB
2011




B. Langkah-Langkah dalam Memilih Calon Pendamping

            Ada beberappa langkah yang perlu diperhatikan ketika memilih calon pendanping agar mendapat ridho-Nya, diantaranya :
·        Menetukan criteria calon pendamping yang baik agamanya.
·        Mengkondisikan orang tua dan keluarga, kadang ketidak siapan orang tua dan keluargaa bila anaknya gadisnya menikah (untuk wanita) menjadi suatu kendala tersendiri bagi seorang muslimah untuk menuju proses pernikahan. Penyebab ketidaksiapan itu kadang justru berasal dari diri muslimah itu sendiri, misalnya masih menunjukkan sikap kekanak-kanakan, belum dapat bertanggung jawab, atau kadang dapat juga pengaruh dari lingkungan, seperti belum selsai kuliah (sarjana) tetapi nsudah akan menikah. Hal-hal seperti ini harus diantipasi jauh-jauh dari sebelumnya, agar pelaksanaan menuju pernikahan menjadi lancer.
·        Mengkomunikasikan kesiapan untuk menikah dengan pihak-pihak yang di percaya kesiapan seorang muslimah dapat di komunikasikan kepada pihak-pihak terpercaya, agar dapat turut membantu langkah-langkah menuju proses selanjutnya.
·        Taa’aruf (berkenalan), proses taa’aruf sebaiknya di lakukan dengan cara Islami. Dalam proses taa’aruf tidak sama dengan istilah pacaran. Dalam berpacaran sudah pastitidak bisa di hindarkan kondisi dua insane berlainan jenis yang khalwat atau berduaan, yang mana dapat membuka peluang terjadinya saling pandang atau bahkan saling sentuh, yang sudah jelas semuanya tidak diatur dalam Islam. Allah berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S 17:32).
Rasulullah bersabda :
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Bila kita menginginkan pernikahan kita terbengkalai dalam ajaaran Islami, maka semua proses yang menyertainya, seperti mulai mencari pasangan haruslah diupayakan dengan cara yang ihsan dan Islami.
·        Bermusyawarahlah dengan pihak-pihak terkait, bila setelah proses taa’aruf terlewati dan hendak dilanjutkan ke tahap berikutnya maka selanjutnya dapat melangkah untuk mulai bermusyawarah dengan pihak-pihak terkait.
·        Istikhoroh, daya nalar manusia dalam menilai sesuatu dapat salah, untuk itu sebagai seorang muslimah yang senatiasa bersandar pada ketentuan ALLAH, sudah sebaiknya bila meminta petunjuk dari ALLAH. Bila calon tersebut baik bagi diri muslimah, agama dan penghidupannya, ALLAH akan mendekatkan dan bila sebaliknya maka akan dijauhkan. Dalam hal ini, apapun kelak yang terjadi, maka sikap berprasangka baik (husnuzhon) terhadap takdir ALLAH harus di utamakan.
·        Khitbah, jika keputusan telah diambil dan sebelum menginjak pelaksanaan nikah, maka harus dudahului oleh pelaksanaan khitbah, yaitu penawaran atau permintaan dari laki-laki kepada wali dan keluarga pihaak wanita. Dalam islam, wanita yang udah di khitbah oleh seorang laki-laki maka tidak boleh untuk dikhitbahb laki-laki lainnya.
Dari Ibnu Umar r.a bahawa Rasulullah besabda “Janganlah kamu mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya sampai yang mengkhitbah itu memberinya izin” (H.R Muttafaq Alaih).

C. Persiapan Spiritual, Moral, Konsepsional tentang Pernikahan
            Dalam tiap diri Muslimah itu, selalu terdapat keinginan bahaw suatu hari nanti akan di pinang oleh seorang lelaki yang sholih, yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam menagrungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat.
            Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan untuk mendapatkan seorang suami yang sholih, maka harus di upayaakan agar diri nya menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan diri seorang muslimah slholihah, maka bekalilah diri seorang muslimah dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah dengan akhlak islami, tujuannya bukan hanya semata untuk mencari jodoh, tetapi lebih kepada untuk mendapatkan ridho-Nya dan media pernikahan adalah sebgai salah satu sarana untyuk beribadah pula.
            Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah dan pahala : meningkatkan pahala dari ALLAH, terutama dalam Shalat dua rakaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yag bujaang (HR. Tamam).
            Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi Rabbani, penerus perjuangan menegakkan Dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholihah/sholih maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya.
            Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah, dengan menikah,maka akan banyak memperoleh pelajaran-pelajaran dan hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu arena berdakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.

D. Persiapan Materiil untuk Calon Suami
            Banyak sekali pemuda yang memaknai kemampuan untuk menikah, diantaranya adalah kemampuan untuk jasamani atau hubungan badaniyah. Ini adalah suatu kebodohan dalam memahami masalah sesksual. Rasulullah sendiri telah memberi lampu hijau bagi para setiap pemuda yang mampu. Apabila kita merujuk pada kamus bahasa dan Lisanul Arab, jelas sekali bahwa kalimat al-ba’ah ini mengandung banyak arti. Secara garis besar, maksud dari kalimat tersebut adalah sebagain berikut : asal makna dari al-baah adalah tempat tinggal, lingkungan, penempatan di rumah, tempat kembali, menetapkan, dan mengembalikan. Sedangkan nikah dinamankan dengan al-ba’ah karena orang yang menikah dengan seorang perempuan, dia akan menempaatkan di sebuah rumah.
            Penyair berkata :
            Wahai para pengendara yang punya tekad bulat,
            Jika engkau ingin menjadi orang yang mampu,
            Maka kuatkan tekad untuk memiliki tempat tinggal.
            Dengan demikian, orang yang hendak menuju ke sana (pernikahan), haruslah orang-orang yang mampu (al-ba’ah), maksudnya orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam pernikahan secar materiil, rohani, maupun secara jasmani (seksual). Diantaranya juga, konsisten kuat, dan mampu memikiul tangguang jawab, dan ini semua dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Diantara maknanya juga adalah untuk memperoleh pekerjaan atau profresi, yang mana dengan itu ia dapaaat penghasilan untuk memberikan nafkah.
            Karena itu pulalah, para ulama madzhab Hanafi mensyaratkan bagi orang yang hendak menikah, ia harus mampu memenuhi biaya pernikahan, semisal : mahar dan nafkah. Demikian juga menurut pendapat dari ulama mazhab Maliki.
            Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialstis, yaitu hidup yang beorientasikan pada materi. Akan tetapi bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka di utamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi pihak wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga.

E. Mengetahui Tujuan dan Hakmah Pernikahan
            Merupakan hal yang lumrah jika tujua hidup itu sama dengan tujuan pernikahan. Bahkan bisa dikatakan, itulah yang benar. Namun, diantara keduanya tidak ada kaitan yang kuat. Supaya tidak dikira bahwa orang yang gagal dalam mencapai tujuan pernikahannya. Kecuali jika pernikahan sudah dijadikan sebagai sebuah tujuan dan sarana untuk menggapai berbagai hal yang di cita-citakan. Jika seperti itu, maka kegagalan itu akan menghancurkan kehidupan keluarga dan pernikahan pula.
            Akan tetapi, persamaan tujuan pernikahan dngan tujuan hidup merupakan tanda akan diperoleh kesuksesan kedua-duanya secara bersamaan. Karena itulah Rasulullah menyebutkan hal-hal yang disukai dari seorang perempuan untuk dijadikan isteri, “Wanita itu dinikahi karena salah satu hal berikut : kecantikannya, kekayaannya, akhlaknya, dan agamanya. Sedangkan kamu harus memilih yang beragama dan berakhlak, karena kamu akan beruntung”.
            Diantara tujuan-tujuan lain dalam melaksanakan pernikahnadalah untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan, melakukan perintah ALLAH dan mengikuti Sunnah Rasulullah, memperbanyak jumlah umat islam denagn anak dan keturunan, serta mendekatkan hubungan dengan sesama melalui hubungan kekeluargaan yang di bina melalui pernikahan (mushaharah). Allah berfirman :



“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya)keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (Al-Furqan :54).
            Diantara tujuan menikah lainnya adalah membentuk keluarga dan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Rasulullah bersabda, “Dan dalam pernikahan kalian itu terdapat sedekah”[3].
            Dr. Sana’ Al-Khauli, dosen ilmu social di universitas Alexandria, mengatakan bahwa ada beberapa tujuan dalam pernikahan, yaitu sebagai berikut :
1.      Saling mencintai dan memberi ketenangan jiwa
2.      Mencari kemandirian dalam ekonomi dan tempat tinggal
3.      Memenuhi keinginan kedua orang tua
4.      Keinginan untuk mandiri dari ketergantungan terhadap orang tua
5.      Memperoleh ketenangan dan hubungan yang akrab
6.      Mencari perlindungan, status social, dsaan posisi di masyarakat
7.      Menepati janji, mengungkapkan kasih sayang, dan memberi perhatian.[4]
Setelah kita mengetahui tujuan-tujuan pernikahan sebagaiman yang telah di paparkan sebelumnya, berikut ada bebarapa hikmah yang di sebutkan oleh Dr. Abdul Karim Zaidan adalah sebagai berikut [5] :
1.      Memenuhi keterikatan manusia pada dorongan biologis dengan cara yang blayak dan pantas. Penulis kitab “Fathul Qadir”, Al Kamal bin Al-Hammam, mengatakan’ “Hubungan seks yang dilakukan dengan jalan yang tidak benar, pasti akan mengakibatkan terjadinya kedzaliman, pertumpahan darah, serta hilangnya keturunan. Hal ini sangat berbeda dengan hubungan seks dengan jalan yan g benar.”[6]
2.      Adanya ketenangan dan ketentraman jiwa, sebagaimana firman Allah “Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya” (Ar-Rum:21).
3.      Memperoleh dan menjaga keturunan yang nasabnya disandarkan pada mereka, tidak seperti anak hasil zina.
4.      Terbentuknya keluarga yang baik dan saling menguatkan, keluarga yang terdiri dari suami-istri, anak-anak, dan kerabat dekat.
5.      Memperbanyak jumlah umat islam secara teratur, supaya identisas itu tetap terjaga dengan layak.




















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Agama Islamsudah sedemikian dimudahkan oleh ALLAH, tetap masih saja ada orang yang merasakan berat dalam melaksanakannya karena ketidak tahuan mereka. Allah Taa’ala telah berfirman : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”(Q.S Al-Baqarah:185).
            Kita lihat, betapa Islam mnghendaki kemudahan dalam proses pernikahan. Proses pemilihan jodoh, dalam peminangan, dalam urusan mahar dan juga dalam melaksanakan akad nikah. Demikianlah beberapa pandangan tentang persiapan pernikahan dan berbagai problematikanya, juga beberapa kiat untuk mengantisipasinya.
            InsyaALLAH, jika ummat Islam mengikuti jalan yang telah Allah gariskan kepadanya, niscayaa mereka akan hidup di bawah naungan Islam yang mulia ini dengan penuh ketenangan dan kedamaian.


SARAN
            Dari semua pemaparan makalaah kami, ada beberapa ahal yang dapatb menjadi pertimbangan saudara untuk di jaadikan sebagai ilmu pengetahuan dalam memilh, memprersiapkan bahkan menentukan criteria-ktiteria mana yang sesuai dengan saudara.
            Untuk memilih calon pendaamping yang baaik, utamakanlah yang bagus agaamanya, akhlaknya serta bagus pula pengetahuannya tentang Islam. Agar dapat menuntun saudara, daan dapat mengemban amanah yang baik sebagai sebuah keluarga.         






DAFTAR PUSTAKA




















KATA PENGANTAR
           
Segala puji dan syukur senantiasa kita serahkan kepada ALLAH SWT. Kemudian Shalawat serta salam kita sanjungkan kepangkuan nabi Muhammad SAW, dan juga kepada keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya. Dengan selesainya makalah ini maka bertambah lagi karunia yang diberikan ALLAH SWT.
Makalah ini disusun oleh penulis dari yang di baca, dipelajari dan dipahami penulis dengan segala keterbatasannya. Terimakasih kepada Dosen Pembimbing kami yang telah membimbing klami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Dosen serta teman-teman.
Hanya keepada ALLAH penulis memohon bimbingan dan menggantungkan semua harapan serta mengharapkan keRidha-Nya.


Banda Aceh, 29 September 2011

Wassalam

Penulis









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
A.     Latar Belakang Masalah…………………………………………
B.     Rumusan Masalah………………………………………………..
C.     Tujuan Penulian Makalah………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….
  1. Pemahaman Dalam Memilih Calon Pendamping……………………
  2. Langkah-langkah Memilih Calon Pendamping………………………
  3. Persiapan Spiritual, Moral, Konsepsional tentang Pernikahan……….
  4. Persiapan Materil………………………………………………………
  5. Tujuan dan Hikmah Pernikahan……………………………………….
BAB III PENUTUP……………………………………………………………
KESIMPULAN………………………………………………………………..
SARAN………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………


[1] HR. Ath-Thabrani dari Abu Malik Al-Asy’ari dalam Kanz Al-Ummal
[2] Dr. Muhammad Umar Al-Haji, Al-Anmu Al-Ali, hlm. 18.
[3] H.R Muslim dari Abu Dzar
[4] Az-Zawaj Wa Al-‘Alaqah Al-Usariyah
[5] Al- Mufasshal fi Ahkami Al-Mar’ah
[6] Fathul Qadir Syarhu Al-Hidayah, jilid 2’hlmn.341.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar